Lingkaran.id -Daya beli warga RI tengah terpuruk. Terlihat dari Survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) bulan November 2023 yang turun jadi 123,6 dibandingkan sebulan sebelumnya yang tercatat di 124,3. Selain itu, orang RI juga kini mulai menggerus tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Fenomena ini melanda masyarakat dari berbagai kelas ekonomi, bawah sampai orang kaya, pedagang, maupun petani.
Tak hanya sekadar makan tabungan, kondisi masyarakat kelas bawah bahkan lebih miris. Selain tabungan hanya 'numpang lewat', juga mengandalkan pinjaman untuk menyambung hidup maupun menambal modal kerja atau usaha kecil-kecilan.
Preman Ancam Minta Uang untuk Beli Miras, Dikasih 20 Ribu Paksa Minta 50 Ribu Cash di Rumah MakanSeperti yang dialami petani di Tanah Air. Bahkan, tak sedikit ada petani yang harus menjual lahan atau asetnya sekadar menyambung hidup. Seperti cerita seorang wirausahawati ke CNBC Indonesia, yang 'diserbu' warga petani di Cianjur, menawarkan ladan-sawah mereka. Alasannya beragam, mulai dari biaya kebutuhan sehari-hari sampai urusan rumah.
Ini adalah salah satu gambaran fenomena makan tabungan oleh petani di Indonesia. Di mana petani kini sudah 'makan tanah' alias menjual aset lahan/ sawahnya demi bertahan hidup.Lonjakan harga-harga sembako yang kian mahal akhir-akhir ini ternyata tak membuat petani RI jadi kaya raya. Apalagi, petani di Indonesia sebagian besar adalah skala kecil, hanya memiliki lahan kurang atau sekitar 0,5 hektare (ha).
Ketika harga naik, namun luasan lahan hanya 0,5 ha, lalu biaya-biaya produksi melonjak, alhasil petani harus bisa memutar otak untuk menyambung hidup.
"Petani itu biasanya menyimpang hasil panennya 20-40% untuk kebutuhan sendiri, sisanya dijual," kata Ketua Umum Asosiasi Benih & Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (20/12/2023).
Hal panen yang dijual itu lalu disimpan untuk modal di musim tanam berikutnya. Hanya saja, simpanan itu pun kadang 'tak selamat'. Masih tetap bisa digerus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Kalau secara sosial, kondisi petani apalagi tanaman pangan itu termasuk paling buruk. Ada anomali yang terjadi, justru NTP petani itu kini semakin turun. Tahun 2000-an masih 125, artinya petani untung. Sekarang cuma sekitar 100, nggak untung nggak rugi. Pertanyaannya, kalau nggak untung apakah masih akan bertahan berusaha (mengusahakan pertanian)?," tukasnya.
Viral! Video Mesum Sejoli Bercumbu di Sofa Kafe Ramai PengunjungKondisi ini, bisa jadi menjawab sebagian pertanyaan mengapa luas lahan pertanian semakin menyusut. Mengapa petani banyak menjual sawahnya?
"Kalau NTP pun misalnya 110 belum tentu juga petani sejahtera. Ya kalau ditanya apakah bisa menabung, nggak bisa. Jadi petani itu jangankan menabung, untuk modal tanamnya saja kadang harus pinjam. Simpanan hasil panen tadi kadang sudah habis terpakai. Jadi ya bukan cuma makan tabungan tapi masih harus berutang," papar Dwi Andreas.Apalagi, sebutnya, saat ini tidak ada akses pembiayaan yang mendukung dan mumpuni bagi petani di Indonesia.
"Dulu ada KUT, kredit usaha tani pada saat era Soeharto, sekitar setelah tahun 1980-an. Petani itu mendapat kredit, yang sebagian besar pada akhirnya tidak dikembalikan (tidak dibayar kembali). Kenapa? Bisa jadi memang pemerintah nggak niat kredit itu dikembalikan, atau si petaninya nggak mampu," katanya.
"Sekarang, adanya KUR, yang sesuai kaidah-kaidah perbankan. Alhasil, bisa dicek, KUR yang bisa dimanfaatkan petani kecil itu cuma sekitar 1%. Jadi begini kondisi petani kita, petani skala kecil," kata Dwi Andreas.
Ketua Departemen Polhukam SPI Angga Hermanda menambahkan, meski tak ada data rinci soal fenomena makan tabungan di petani, hingga kemudian terpaksa menjual sawah atau ladangnya, saat ini jumlah petani kecil di RI justru bertambah.
"Tingkat kepemilikan tanah petani semakin sempit. Petani skala kecil meningkat," katanya.
"Kenaikan jumlah Rumah Tangga Usaha Petani (RTUP) Gurem sebesar 18,5% dalam 10 tahun terakhir berdasarkan sensus tani BPS membuktikan bahwa ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah semakin curam," papar Angga.
Kenaikan harga-harga bahan pangan, imbuh dia, tak mampu mendongkrak kesejahteraan petani.
"Kenaikan harga sembako, termasuk cabai dan gabah/beras tidak berbanding lurus dengan ongkos produksi petani," tukas Angga.
"Ada keuntungan namun tidak signifikan karena biaya produksi juga naik," katanya.