Para pemimpin daerah yang hadir mewakili berbagai wilayah di Indonesia, antara lain dari Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sumatra Barat, DI Yogyakarta, Papua Pegunungan, Bengkulu, Aceh, Sumatra Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat Daya, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, hingga Sumatra Selatan.
Ketua Umum APPSI sekaligus Gubernur Jambi, Al Haris, mengatakan bahwa pertemuan itu bukan sekadar formalitas. Ia menyebut banyak daerah terancam kesulitan menjalankan program dasar akibat pemangkasan anggaran tersebut.
“Dampaknya luar biasa. Ada daerah yang mungkin kesulitan membayar gaji pegawai, termasuk kewajiban pembayaran tenaga P3K. Ini sangat berpengaruh terhadap struktur APBD 2026,” ujar Al Haris usai pertemuan di kantor pusat Kemenkeu.
Sebagai informasi, anggaran TKD dalam APBN 2026 dipatok sebesar Rp 692,99 triliun, atau turun 24,7 persen dibandingkan tahun 2025 yang mencapai Rp 919,9 triliun. Artinya, terjadi pemotongan sekitar Rp 226,9 triliun dari dana yang biasa mengalir ke pemerintah daerah.
Al Haris menambahkan bahwa meski pemerintah pusat telah menyiapkan program pembangunan di daerah senilai Rp 1.300 triliun tahun depan, namun detail pelaksanaannya belum sepenuhnya diketahui oleh pemerintah daerah.
“Masalahnya, daerah dengan PAD kecil sangat bergantung pada TKD. Kalau sumber dan mekanisme program pusat belum jelas, maka daerah bisa terhambat dalam menggerakkan roda pembangunan,” jelasnya dengan nada khawatir.
Nada serupa disampaikan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos. Ia menilai pemotongan TKD akan membuat daerahnya terjepit secara fiskal dan sulit melakukan pembangunan infrastruktur.
“Semua kepala daerah yang hadir tidak setuju dengan kebijakan ini. Dengan pemotongan 20 sampai 30 persen di level provinsi, dan bahkan 60 hingga 70 persen di kabupaten, kami hanya bisa menutupi belanja rutin. Janji pembangunan jalan dan jembatan tentu harus dikorbankan,” tegas Sherly.
Ia menambahkan bahwa beban belanja pegawai, terutama dari tenaga P3K, akan menyerap sebagian besar anggaran, menyisakan ruang yang sangat sempit untuk proyek strategis daerah.
Menanggapi keluhan tersebut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui bahwa kebijakan pemangkasan TKD memang menimbulkan kegelisahan di kalangan kepala daerah. Namun, ia menegaskan langkah itu diambil atas dasar evaluasi penggunaan dana daerah yang dinilai kurang efisien.
“Alasan utamanya adalah banyak dana daerah yang tidak terserap maksimal, bahkan ada indikasi penyelewengan. Tidak semua dana digunakan sebagaimana mestinya, dan hal itu membuat pemerintah pusat merasa perlu memperbaiki sistemnya,” ujar Purbaya.
Ia menjelaskan, meski nilai transfer ke daerah berkurang sekitar Rp 200 triliun, pemerintah justru meningkatkan alokasi program langsung di daerah dari Rp 900 triliun menjadi Rp 1.300 triliun pada tahun 2026.
“Tujuannya agar pengelolaan keuangan lebih efektif dan tepat sasaran,” tambahnya.
Viral Isu Kenaikan Gaji ASN 2025, Begini Faktanya!
Purbaya menegaskan bahwa pemotongan tidak dilakukan secara mendadak dan masih memperhatikan keseimbangan fiskal di setiap wilayah. Pemerintah, katanya, bahkan menambah pagu anggaran sebesar Rp 43 triliun untuk menjaga stabilitas keuangan daerah.
Ia juga membuka peluang untuk menambah kembali dana transfer apabila pemerintah daerah mampu menunjukkan kinerja keuangan yang baik dan transparan.
“Kalau daerah bisa menunjukkan penyerapan anggaran yang bersih dan efisien, saya akan mengusulkan ke pimpinan agar transfer ke daerah bisa segera ditambah. Ketika ekonomi tumbuh dan pajak meningkat, tentu kita akan menyalurkan lebih banyak dana ke daerah,” pungkasnya.***